Rabu, 04 Februari 2015

hakekat sastra

hakekat sastra Disusun Oleh: FERDI ARDIANTO PEMBAHASAN A. Hakekat Sastra Sastra berasal dari bahasa sansakerta shastra yang artinya adalah "tulisan yang mengandung intruksi" atau "pedoman". Dalam masyarakat Indonesia definisi sastra masih bersifat kabur, pengertiannya kadang menjadi bias. Pengertian sastra merujuk pada kesusastraan yang diberi imbuhan ke-an. “Su” artinya baik atau indah dan “sastra” artinya tulisan atau lukisan. Jadi, kesusastraan artinya tulisan atau lukisan yang mengandung kebaikan atau keindahan. Sastra terbagi menjadi sastra lisan dan tulisan. Sastra lisan berkaitan dengan berbagai macam karya dalam bentuk tulisan sedang sastra lisan adalah karya sastra yang diekspresikan langsung secara verbal. Dalam perkembangannya istilah sastra dengan sastrawi mempunyai perbedaan makna. Sastra diartikan lebih terbatas pada bahasa tulisan sedangkan sastrawi memiliki makna dan ruang lingkup lebih luas. Istilah sastrawi merujuk pada sastra yang bersifat lebih puitis dan abstrak. Sastrawan adalah istilah yang berasal dari istilah sastrawi, yaitu orang yang berkecimpung dan mempunyai keahlian di bidang sastrawi. Ketika berbicara mengenenai sastra mungkin yang terlintas dalam benak kita adalah keindahan bahasa. Kesusastraan adalah sebuah unsur kebahasaan yang mempunyai nilai-nilai estetik yang tinggi. Berbicara tentang sastra berarti kita mencoba untuk menggali nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam bahasa. Setiap bahasa mempunyai kesusastraan masing-masing yang tentunya mempunyai karakter dan cita rasa linguistik tesendiri. Bahasa adalah sesuatu yang universal. Bahkan bahasa adalah unsur esensial dalam kehidupan manusia sehingga seorang ahli semiotika atau pakar komunikasi mengatakan bahwa manusia tanpa kemampuan berbahasa adalah tidak jauh berbeda dengan makhluk primata lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa sebagai sebuah sistem simbol atau lambang yang digunakan untuk alat berkomunikasi adalah sesuatu yang luar biasa yang membuat manusia menjadi makhluk yang unik yang berbeda dengan makhluk lainnya. Tapi, tentu ini tidak berarti bahwa seseorang yang tidak mempunyai kemampuan berbicara dengan normal adalah bukan manusia.Mungkin itu asumsi yang bisa dianggap wajar terhadap pernyataan di atas tapi jelas kita harus memahami itu secara lebih luas dan kompleks karena kita tidak boleh terpaku pada aspek artikulasi semata tapi lebih dalam daripada itu. Kembali pada bahasan sastra. Bahwasanya sastra sebagai unsur kebahasaan memiliki fungsi dan karakter khusus. Dalam kemasyarakatan, sastra memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi rekreatif Sastra berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat karena mengandung unsur keindahan 2. Fungsi didaktis Sastra memiliki fungsi pengajaran karena bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan dan kebenaran 3. Fungsi estetis Sastra memiliki unsur dan nilai-nilai keindahan bagi para pembacanya 4. Fungsi moralitas Sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah 5. Fungsi religious Sastra mampu memberikan pesan-pesan religius untuk para pembacanya. Dalam pengertian yang luas (menurut pandangan barat_red) sastra merupakan segala jenis pekerjaan menulis atau segala bentuk seni tulisan sehingga mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Sedangkan dalam pengertian khusus sastra tidak lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu bahasa sastra bukan merupakan bahasa percakapan yang bersifat simple dan mudah dimengerti, dalam hal ini yaitu sastra kuno yang menggunakan kaidah baku dan pola yang kaku. Sedangkan sastra bebas atau prosa biasa menggunakan pola dan struktur bahasa yang sederhana dan lebih bebas. Bahasa sastra mempunyai kedalaman makna karena sering dipakai untuk mengungkapkan perasaan atau menyampaikan pesan moral serta nilai-nilai kebajikan. Sastra juga biasa digunakan untuk mengabadikan sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa, seperti nilai agama, sejarah, sosial dan budaya suatu bangsa. Dengan demikian, kekayaan khazanah kesusastraan bisa dipandang sebagai cermin kekayaan budaya suatu bangsa. B. Ruang Lingkup Ilmu Sastra Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles ( 384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw. Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait. C. Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, Dan Sejarah Sastra Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik. D. Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya,struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan. E. Sajak Sajak adalah persamaan bunyi. Persamaan yang terdapat pada kalimat atau perkataan, di awal, di tengah, dan di akhir perkataan. Walaupun sajak bukan menjadi syarat khusus bagi sesuatu puisi lama, tetapi pengaruhnya sangat mengikat kepada baentukdan pilihan kata dalam puisi itu. Sajak terbagi enam jenis; 1. Sajak Awal Ialah persamaan bunyi yang terdaspat pada awal kalimat, seperti pantun berikut: Kalau tidak karena bulan Tidaklah bintang meninggi hari Kalau tidak karena tuan Tidaklah saya sampai kemari 2. Sajak Tengah Persamaan yang terdapat di tengan kalimat, seperti: Guruh petus penuba limbat Ikan lumba berenang-renang Tujuh ratus jadikan ubat Badan berjumpa maka senang (Dr. mandahk) 3. Sajak Akhir Sajak yang terdapat pada akhir kalimat. Sajak ini terdapat hamper pada segala puisi lama dan puisi baru. Misalnya: Berdiri aku di tepi pantai Memandang lepas ke tengah laut Ombak pulang peceh berderai Keribaan pasar rindu berpaut (Amir Hamzah) 4. Asonansi Persamaan bunyi hujruf hidup (voksal) yang terdapat dalam perkataan atau kalimat. Misalnya: Kini kami bertikai pangkai Diantara dua mana mutiara Jauhari ahli lalai menilai Lengahlangsung melewat abad 5. Sejak Sempurna Dalam memilih perkataan untuk mencapai perasamaan bunyi, tiadalah selalu bunyi itu jatuh yang sempurna pada suara yang sama, ada yang mirip dan ada yang benar-benar tepat. Yang tepat disebut sajak sempurna: Gabak hari awan pun mendung Pandan terkulai menderita Sejakmati ayah kandung Makan berrhurai air mata 6. Sajak Tak Sempurna Hanya bunyinya saja yang hamper bersamaan, seperti: Uncang buruk tak tertali Kian kemari bergantung-gantung Bujang buruk tak berbini Kian kemari meraung-raung Kata sajak dikenal dalam kesusastraan indonesia. penggunaan istilah ini sering dicampuradukkan dengan puisi. padahal, puisi berasal dari bahasa belanda, dari kata poezie. dalam bahasa belanda, dikenal dengan istilah gedicht. Dalam bahasa indonesia (melayu) hanya dikenal istilah ini mengandung arti poezie maupun gedicht sekaligus. istilah puisi cenderung digunakan untuk berpasangan dengan istilah prosa, seperti istilah poetry dalam bahasa inggris yang dianggap sebagai salah satu nama jenis sastra. Dengan demikian, istilah ini lebih bersifat khusus, individunya, sedangkan puisi lebih bersifat general, jenisnya. Sajak adalah puisi, tetapi tidak sebaliknya. puisi bisa saja terdapat dalam prosa seperti cerpen, novel, atau esai, sehingga orang sering mengatakan bahwa kalimat-kalimatnya puitis (bersifat puisi). menurut putu arya tirtawirya, puisi menjadi suatu pengungkapan secara implisit, samar, dengan makna yang tersirat, dimana kata-kata condong pada artinya yang konotatif. Sajak memiliki makna lebih luas. tidak sekadar hal yang tersirat, tetapi sudah menyangkut materi isi puisi, bahkan sampai pada efek yang ditimbulkan, seperti bunyi. karenanya, ia terkadang juga dimaknai sebagai bunyi. pada hakekatnya, ia mengundang kata berasosiasi. tidak berinterpretasi, bertafsir-tafsir. Bagi subagio sastrowardoyo, ia adalah apa yang lahir setelah ‘malam yang hamil oleh benihku. adalah bayi yang dicampakkan ke lantai bumi. sajak seperti anak haram tanpa ibu membawa dosa pertama di keningnya. Sedangkan subagio sastrowardoyo berpendapat bahwa sajak berguna untuk mengingatkan kita pada kisah dan keabadian. melupakan kepada pisau dan tali. melupakan kepada bunuh diri. Sajak bagi chairil adalah alamat kemana ia menuju setelah lari dari gedong lebar halaman, dan ketika tersesat tak dapat jalan. Sajak bagi goenawan mohamad adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai, tapi kita tetap saja di sana. mengamati, mencatat. seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. ia adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa. F. Drama 1. Pengertian Drama Drama adalah karangan yang menggambarkan kehidupan dan watak manusia dalam bertingkah laku yang dipentaskan dalam beberapa babak. Seni drama sering disebut seni teater. Sejarah drama sebagai tontonan sudah ada sejak zaman dahulu. Nenek moyang kita sudah memainkan drama sejak ribuan tahun yang lalu. Bukti tertulis yang bisa dipertanggung jawabkan mengungkapkan bahwa drama sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini didasarkan temuan naskah drama kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Sejarah lahirnya drama di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kelahiran drama di Yunani. Keberadaan drama di negara kita juga diawali dengan adanya upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh para pemuka agama. Intinya, mereka mengucapkan mantra dan doa. Ada beberapa jenis drama tergantung dasar yang digunakannya. Dalam pembagian jenis drama, biasanya digunakan tiga dasar, yakni: berdasarkan penyajian lakon drama, berdasarkan sarana, dan berdasarkan keberadaan naskah drama. Berdasarkan penyajian lakon, drama dapat dibedakan menjadi delapan jenis, yaitu: a. Tragedi: drama yang penuh dengan kesedihan b. Komedi: drama penggeli hati yang penuh dengan kelucuan. c. Tragekomedi: perpaduan antara drama tragedi dan komedi. d. Opera: drama yang dialognya dinyanyikan dengan diiringi musik. e. Melodrama: drama yang dialognya diucapkan dengan diiringi melodi/musik. f. Farce: drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak sepenuhnya dagelan. g. Tablo: jenis drama yang mengutamakan gerak, para pemainnya tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan gerakan-gerakan. h. Sendratari: gabungan antara seni drama dan seni tari. Berdasarkan sarana pementasannya, pembagian jenis drama dibagi antara lain: a. Drama Panggung: drama yang dimainkan oleh para aktor dipanggung. b. Drama Radio: drama radio tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya bisa didengarkan oleh penikmat. c. Drama Televisi: hampir sama dengan drama panggung, hanya bedanya drama televisi tak dapat diraba. d. Drama Film: drama film menggunakan layar lebar dan biasanya dipertunjukkan di bioskop. e. Drama Wayang: drama yang diiringi pegelaran wayang. f. Drama Boneka: para tokoh drama digambarkan dengan boneka yang dimainkan oleh beberapa orang. Jenis drama selanjutnya adalah, berdasarkan ada atau tidaknya naskah drama. Pembagian jenis drama berdasarkan ini, antara lain: a. Drama Tradisional: tontonan drama yang tidak menggunakan naskah. b. Drama Modern: tontonan drama menggunakan naskah. 2. Unsur-Unsur Drama (Tokoh, Latar, Dan Amanat Drama) a. Tema adalah ide pokok atau gagasan utama sebuah cerita drama b. Alur yaitu jalan cerita dari sebuah pertunjukkan drama mulai babak pertama hingga babak terakhir c. Tokoh drama atau pelaku drama terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama atau peran utama disebut primadona sedangkan peran pembantu disebut figuran d. Watak adalah perilaku yang diperankan oleh tokoh drama. Watak protagonis adalah watak (periku) baik yang diperankan oleh tokoh drama, contohnya : penyabar, kasih sayang, santun, pemberani, pembela yang lemah, baik hati dan sebagainya. Sedangkan watak antagonis adalah watak (perilaku) jahat yang diperankan oleh tokoh drama, contohnya : sifat iri dan dengki, kejam, penindas dan sebagainya e. Latar atau setting adalah gambaran tempat, waktu dan situasi peristiwa dalam cerita drama f. Amanat drama adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada penonton. Amanat drama atau pesan disampaikan melalui peran para tokoh drama. G. Sastra 1. Sastra Lisan Definisi dari sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Sedangkan, Sapardi mengemukakan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Secara garis besar dapat disimpulkan dari kedua definisi tersebut bahwa sastra adalah bagian dari kehidupan sosial yang dalam penggunaannya memanfaatkan bahasa sebagai medium. Yang mana bahasa tersebut bukanlah bahasa sehari-hari melainkan sebuah gaya bahasa. Kemudian, definisi masyarakat yang dimuat pada wikipedia, bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Sastra sendiri tidak akan tercipta tanpa adanya masyakarat atau seseorang yang menciptakannya. Sastra sendiri timbul akibat interaksi-interaksi antarmasyarakat. Berkaitan dengan masyarakat, sastra yang paling tua lahir di kalangan masyarakat dunia adalah sastra lisan. Sastra lisan telah dikenal nenek moyang kita jauh sebelum manusia mengenal aksara atau tulisan. Penyebarannya dilakukan dengan cara lisan atau dari mulut ke mulut, dari satu orang ke orang yang lain. Selanjutnya dalam prosesnya sastra lisan dilihat, didengar, dan akhirnya dilisankan kembali. Karena sifat penyebarannya dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi sastra lisan menjadi sangat berpeluang mengalami perubahan. Salah satu hal yang unik dari sastra lisan adalah kita tidak dapat mendeteksi secara pasti siapa yang menghasilkan karya tersebut karena sifat penyebarannya yang secara turun temurun. Dalam khazanah kesusastraan Melayu kuno tradisi sastra lisan baik syair maupun prosa merupakan kekhasan corak tersendiri yang memiliki relasi lajur sejarah yang cukup panjang. Satu pengaruh tradisi cina yang masuk melalui jalur perdagangan kemudian pengaruh India atau Hindu-Budha yang saat itu merupakan agama yang dianut sebagian besar kerajaan-kerajaan di Indinesia. Ditambah dengan sumbangan kebudayaan Arab-Islam yang dibawa oleh para musafir. Ketiga tradisi yang berbeda-beda tersebut tentunya sangat mewarnai sejarah perkembangan sastra di Indomesia khususnya sastra lisan. Dalam perjalanannya sastra lisan menemukan tempat dan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah pada ruang etnik dan suku yang mengusung flok budaya dan adat yang berbeda-beda. Heddy Shri Ahimsya-Putra (1966) mengatakan bahwa sebagai suatu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur keindahan (estetik) tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan. Oleh karenanya, sebagai salah satu data budaya sastra lisan dapat dianggap sebagai pintu untuk memahami salah satu atau mungkin keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan. Sastra lisan telah bertahan cukup lama dalam mengiringi sejarah bangsa Indonesia dan menjadi semacam ekspresi estetik tiap-tiap daerah dan suku yang tersebar di seluruh nusantara. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, dalam khazanah kesusastraan modern Indonesia baik dalam ekspresi proses verbal kesastrawanan maupun dalam kajian, sastra tulisan lebih mendimonasi. Hal ini mulai berkembang ketika muncul anggapan bahwa sastra tulis mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding sastra lisan dalam konteks pembangunan kepribadian bangsa yang lebih maju. Ditambah lagi oleh arus modernisasi yang masuk dan membawa corak kebudayaan baru, maka posisi sastra lisan dalam masyarakat mulai pudar bahkan hampir dilupakan. 2. Sastra Tulisan Sastra tulisan (written literature)yaitu sastra yang menggunakan media tulisan atau literal. Menurut Sulastin Sutrisno (1985) awal sejarah sastra tulis melayu bisa dirunut sejak abad ke-7 M. Berdasarkan penemuan prasasti bertuliskan huruf Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa di Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684) Kota Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Walaupun tulisan pada prasasti-prasati tersebut masih pendek-pendek, tetapi prasasti-prasasti yang merupakan benda peninggalan sejarah itu dapat disebut sebagai cikal bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Sastra tulis dianggap sebagai ciri sastra modern karena bahasa tulisan dianggap sebagai refleksi peradaban masyarakat yang lebih maju. Menurut Ayu Sutarto (2004) dan Daniel Dakhidae (1996) tradisi sastra lisan menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa. Maka, tradisi lisan harus diubah menjadi tradisi menulis. Karena budaya tulis-menulis selalu identik dengan kemajuan peradaban keilmuan. Pendapat ini mungkin tidak keliru. Tapi, bukan berarti kita dengan begitu saja mengabaikan atau bahkan meninggalkan tradisi sastra lisan yang sudah mengakar dan menjadi identitas kultural masing-masing suku dan daerah di seluruh kepulauan Indonesia. Pada akhirnya, proses pergeseran dari tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan tidak dapat dihindari. Karena sadar atau tidak, bagaimanapun proses pertumbuhan sastra akan mengarah dan berusaha menemukan bentuk yang kebih maju dan lebih sempurna sebagaimana terjadi pada bidang yang lainnya. Karena proses perubahan seperti ini merupakan sebuah keniscayaan terutama dalam struktur masyarakat yang dinamis. Belum ditemukan data yang pasti, yang menunjukan kapan tepatnya tradisi sastra tulis dimulai. Sastra tulis yang tercarat dalam sejarah kesusastraan Indonesia mungkin bisa dikatakan dimulai sejak sebelum abad ke-20, yaitu pada periode Pujangga Lama. Dan, kemudian mulai menunjukan wujudnya yang lebih nyata pada periode Balai Pustaka yang bisa disebut sebagai tonggak perkembangan sejarah kesusastraan modern Indonesia. Dimana dengan lahirnya penerbit pertama di Indonesia ini, bidang kesusastraan mulai dikembangkan secara lebih terorganisir. Dan, pada periode berikutnya, terus berkembang secara lebih luas. 3. Kedudukan Sastra Lisan dan Sastra Tulisan Sejatinya baik sastra lisan maupun tulisan masing-masing mempunyai kedudukan yang sama-sama penting dalam perkembangan sastra di Indonesia. Walaupun pada kenyataannya sastra lisan sering kali dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembanfan zaman. Tapi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sastra lisan mempunyai akar yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa Indonedia baik aspek sosio-kultural, moral, religi hingga aspek politik. Jadi, pada dasarnya dua bentuk sastra ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain sebagaimana dalam konsepsi A. Theeuw (1983) bahwa dari segi sejarah maupun tipologi adalah tidak baik jika dilakukan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan sehingga tidak boleh lebih mengutamakan satu dari pada yang lain. Sebaliknya, dua jenis karya sastra ini seyogianya saling mendukung dan melengkapi untuk lebih memperkaya khazanah kesusastraan bangsa. Karena pada hakikatnya sastra lisan merupakan sumber utama bagi penciptaan sastra tulisan sebagaimana sastra lama merupakan penunjang lahirnya sastra modern. Bentuk dari sastra lisan sendiri dapat berupa prosa (seperti mite, dongeng, dan legenda), puisi rakyat (seperti syair, gurindam, dan pantun), seni pertunjukan seperti wayang, ungkapan tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), nyanyian rakyat dan masih banyak lagi. Perkembangana sastra lisan dalam kesusastraan Indonesia diperngaruhi oleh beberapa budaya lain, seperti budaya Cina, Hindu-Budha, India, dan Arab. Sastra lisan yang dipengaruhi oleh budaya-budaya tersebut dibawa dengan cara perdangangan, perkawinan, dan agama. Fungsi dari sastra lisan sendiri tidak hanya sekedar untuk kebutuhan seni, melainkan terdapat pula unsur pendidikan yang hendak disampaikan didalamnya, seperti nilai moral dan nilai agama dalam masyarakat. Salah satu contoh sastra lisan yang berkaitan dengan moral adalah Gurindam. Gurindam adalah puisi Melayu Lama sarat dengan pengaruh sastra Hindu. Isi dari gurindam sendir adalah nasihat-nasihat kehidupan. Selain Gurindam, contoh sastra lisan lain yang berkembang dalam masyarakat yang sarat akan nilai adalah nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat salah satu sastra lisan yang memiliki banyak fungsi, antara lain. a. Nyanyian rakyat berfungsi sebagai pelipur lara, nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi permainan anak-anak, dan nyanyian untuk mengantar anak tidur. b. Nyanyian rakyat juga berfungsi sebagai pembangkit semangat, nyanyian perjuangan, nyanyian untuk baris-berbaris, dan sebagainya. c. Nyanyian rakyat berfungsi untuk menjaga sejarah daerah setempat. d. Nyanyian rakyat juga dapat berfungsi sebagai protes sosial mengenai ketidakadilan masyarakat setempat atau bahkan masyarakat yang lebih luas lagi. Salah satu contoh dari nyanyian rakyat adalah Nina Bobo dari Jakarta sebagai nyanyian rakyat untuk mengantar anak tidur atau Potong Bebek dari Nusa Tenggara Timur sebagai nyanyian permainan. Dan mungkin hingga saat ini kedua nyanyian tersebut masih sangat familiar dalam kehidupan kita sehari-hari. Sastra lisan lain yang berkembang dalam masyarakat adalah wayang. Selain melibatkan unsur lisan atau ujaran, wayang juga melibatkan unsur tarian, permainan dan unsur tradisional lainnya. Sastra lisan wayang sangat subur tumbuh di dataran Jawa. Alur cerita wayang yang sangat banyak pertunjukkan adalah kisah Ramayana dan Mahabharata. Meski wayang hanya berkembang di dataran Jawa tidak bisa dijadikan tolak ukur bahwa semua wayang di Jawa adalah sama. Tentu setiap wayang di Jawa mempunyai ciri spesifik dan perbedaan masing-masing. Seperti hadirnya tokoh Cepot dalam wayang Sunda. Fungsi wayang sendiri hampir sama dengan sastra lisan lainnya yaitu, menyampaikan nilai-nilai sosial atau moral, dan sebagai hiburan. Cerita rakyat adalah bentuk sastra lisan lainnya yang ada di Indonesia. Cerita rakyat adalah bentuk kekayaan sejarah dan budaya Indonesia yang berbentuk prosa dan dapat menjadi ciri khas suatu daerah tertentu. Fungsi dari cerita rakyat sendiri adalah sebagai hiburan, pendidikan, dan penyampaian pesan moral. Selayaknya sastra lisan lain, penyebaran dari sastra lisan pun melalui media lisan dari mulut ke mulut dan generasi ke generasi. Yang berpeluang mengakibatkan adanya versi dalam setiap cerita rakyat yang ada. Ciri-ciri dari cerita rakyat sendiri adalah bersifat anonim (nama pengarang tidak ada), bersifat komunal (cerita rakyat masyarakat secara kolektif), dan berkembang dari mulut ke mulut. Cerita rakyat pula dibedakan menjadi dongeng, mite, legenda, dan fabel. Dongeng adalah suatu cerita atau kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif atau dapat pula diangkat dari kisah nyata yang disatukan menjadi sebuah alur perjalan hidup yang mengandung pesan moral dan cara berinteraksi dengan makhluk lain. Kemudian, Mite menurut KBBI adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal gaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa. Kemudian, Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh masyarakat suatu kisah atau cerita benar-benar terjadi. Sedangkan, fabel menurut KBBI adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang yang biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti. Banyak cerita rakyat yang terkenal di Indonesia, antara lain Keong Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Timun Mas, dan masih banyak lagi. Namun, perlu diingat bahwa sastra lisan yang dimiliki daerah satu dengan daerah lainnya pasti berbeda. Jangankan untuk daerah yang berbeda, untuk sastra lisan yang terdapat dalam satu daerah pun sangat mungkin memiliki berbagai versi mesti karyanya adalah satu. Pada era kemajuan teknologi saat ini sastra lisan makin tergerus oleh jaman, dan cenderung terlupakan. Hanya sebagian saja sastra lisan yang sanggup bertahan dan dipertahankan oleh masyarakat. Indonesia adalah negara dengan budaya yang beranekaragam. Masih banyak sastra lisan yang ada di pedalaman tanah Nusantara ini yang mungkin belum kita ketahui. Seperti halnya karya sastra, dalam sastra lisan pun terdapat makna, fungsi, dan pesan yang dikandung. Sudah seharusnya dan menjadi tugas kita menjaga dan melestarikannya sebagai warisan budaya Indonesia. H. Sosiologi Sastra Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya. Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah ‘mimesis’, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’. 1. Hubungan Pada umumnya, pengarang juga merupakan warga masyarakat dimana ia berdomisili. Banyak karya-karya sastra yang menngungkapkan perasaan masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat lebih bersifat deskriptif, simbolik, dan bermakna. 2. Konsep Sastra merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra seperti pada sastra tradisional yaitu simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun kadang karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia. Penyair merupakan warga masyarakat yang memiliki status khusus. Penyair mendapatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai massa walaupun secara teoritis. Dari aktifitas manusia yang saling berkaitan inilah dapat dilihat hubungan antara cara produksi dengan sastra. 3. Ciri-ciri hubungan konsepsi sastra dan masyarakat a. Sastra dipelajari sebagai dokumen sosial dan potret kenyataan sosial sebagai suatu pendekatan. b. Sastra terjadi dalam konteks sosial. c. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan bermasyarakat. d. Sastra hanya berkaitan secara tidak langsung dengan situasi ekonomi, politik, sosial yang konkret. e. Memakai istilah-istilah yang mengacu pada integrasi sistem budaya dan keterkaitan antara berbagai aktivitas manusia. f. Aktifitas, pernyataan dan keputusan dalam hidup pengarang tidak boleh dicampuradukkan dengan implikasi sosial karya mereka. 4. Manfaat Hubungan konsepsi sastra dan masyrakat 1. Menunjukkan apa peran kelompok-kelompok dalam masyarakat terhadap sastra. 2. Mendikte kaitan dan dampak yang seharusnya ada. 3. Membuat pengkhususan dan klasifikasi. 4. Mengetahui bagaimana cerminan proses sosial. 5. Sebagai dokumen sosial yang dipakai untuk mengutaikan ikhtisar sejarah sosial. 5. Tokoh a. P.N. Sakulin Yang membahas sastra Rusia berdasarkan perbedaan yang teliti antara sastra petani, kaum borjuis, alangan intelek demokratis, dan kelompok-kelompok lain termasuk kelas proletar yang revolusioner b. Tomars Memformulasikan tentang permasalahan studi sastra yang menyiratkan atau merupakan masalah sosial c. Ashley Thomdikc Yang menegaskan tentang konsep cetakan abad ke sembilan dengan menonjolnya spesialisasi. d. Kohn-Bramsdedt Mengungkapkan tentang pengetahuan struktur masyarakat yang dapat menyelidiki reproduksi sosial dalam karya sastra. 6. Contoh Didalam Roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli muncul adat Minangkabau yang sangat kuat. Suatu adat yang tidak bisa dilupakan oleh Samsul Bahri walaupun ia harus menempuh pendidikan di luar pulau. Selain hal diatas, dalam Roman Siti Nurbaya juga terdapat stratifikasi sosial. Kekuasaan diktator para penjajah membuat rakyat biasa menjadi tertekan dalam kesehariannya. 7. Karya Sastra dan Dunia Sosial Sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibaawa kedalam keterkaitan yang kuat dengan dunia sosisal tertentu yang nyata, yaitu lingkungan sosial tempat dan waktu bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku. a. Dari Tulisan ke Dunia Sosial Ricoeur (1981) mengemukakan bahwa sebagai tulisan karya sastra memeang mengambil jarak dari situasi dan kondisi nyata yang menjadi lingkungan produksinya. Sebagai tulisan, karya sastra tidak lagi mengacu pada pengarang dan pembaca serta situasi dan kondisi asalnya. Karya sastra sebagai tulisan, mampu melampaui situasi dan kondisi tersebut untuk memasuki situasi dan kondisi yang hidup salam ruang dan waktu yang berbeda dari situasi dan kondisi asal karya sastra tersebut. Namun, kenyataan tersebut tidak dengan sendirinya berarti bahwa karya sastra tidak memiliki acuan dalam kenayataan. Hanya saja, acuan karya sastra itu tidak lagi terarah pada dunia sosial yang nyata, melainkan dunia sosial yang mungkin. b. Dari Bahasa ke Dunia Sosial Penyimpangan sastra terhadap kaidah-kaidah sastra yang dianggap umum tidak dengan sendirinya berarti bahwa hal tersebut sama sekali dapat melepaskan diri dari kaidah-kaidah bahasa yang disimpaninya. Teori-teori semiotika, misalnya, teori Ronald Roland Barthes (1972), menyebutkan sastra sebagai suatu sistem semiotik tatanan ke dua yang dibangun atas dasar bahasa sebagai sistem simiotik tatanan pertama. c. Dari Rekaan, Imajinasi ke Dunia Sosial Dunia sosial pada dasarnya adalah dunia yang berbeda diluar dan melampaui dunia pengalaman langsung. Dalam kenyataan pengalaman langsung tidak ada masyarakat atau tatanan sosial, yang ada hanyalah individu dan aneka objek yang tidak bertalian satu dengan yang lainnya. Bila karya sastra dipahami sebagai sesuatu yang fiktif dan imajinasi, dunia sosial pun begitu. Beneict Andersoon (1991) berbicara mengenai komunita-komunitas yang dibayangkan atau diimajinasikan (imagined communties). I. Teori Strukturalisme Dalam Sastra 1. Pendahuluan Teori sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, strukturalisme semiotik, strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi. 2. Pengertian Strukturalisme Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi. Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan oleh A.Teeuw, Umar Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme. Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dinggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,bahkan ‘mematikan’ sebjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya. Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkansebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan senirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema, 1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kedadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, diantaranya: teema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog, peristiwa Secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemampuan peneliti. Teori adalah alat, kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unur-unsur, anatrhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berbah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain. Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalime telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku. J. Teori Semiotika Semiotika, istilah yang agak sulit dikategorikan, apakah suatu ilmu tersendiri ataukah hanya sekedar bidang kajian. Analisis semiotika yaitu analisis tentang tanda dan terbentuknya tanda.sesuatu disebut sebagai tanda selama ia mambawa atau merepresentasikan makna tentang suatu objek. Tanda-tanda memungkinkan kita berfikir, berhbungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan pada alam semesta (Zoest, 1996). Semiotika adalah studi yang mempelajari tenteng tanda atau cara beradanya tanda (mode of signification). Menurut Zoest (1992), semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhungan dengannya: cara berfungsinya, hubunganya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaanya oleh mereka yang mempergnakannya. Kajian semiotika berawal dari segala hal yang bisa dimaknai, maka dari itu bisa ditandai, oleh manusiasebagai makhluk yang berfikir (animal rationale) dan makhluk yang mampu manandai (animal symbolicum).sebuah tanda adalah entitas yang menandakan (signifies) ata mewakili entitas yang lain. Tanda juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang menggantikan (stand for) sesuatu yang lain bagi manusia dalam kapasitas tertentu. Pierce mendefinisikan tanda sebagai segala sesatu yang mamp mawakili sesuatu yang lain. Definisi tanda menurut Pierce dibangun diatas pendekatan triadic. Tanda terbentuk atas tiga pemungsi tanda yaitu Representatement, Semiotic Object, dan Interpretant. Representatement adalah object concret yang dapat diamati oleh panca indra. Semiotic Object adalah abstraksi atau concept seseorng mengeni suatu objek. Interpretant adalah pemahaman seseorang mangenai hubungan antara Representatemen dan Semiotic Objek. Teori tanda menurut Saussure (1857-1913) yang ia sebut semiologi. Konsep Saussure disebut diadik karena teorinya dibangnoleh dua pemungsi tanda yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Makna dalam system tanda merupakan salah sat komponem yang bersifat abstrak.pemaknaan selalu didasarkan pada paradigma, pemikiran, pengetahan, interest, atau kltur yang dimiliki oleh interpreter. Setiap tanda selalu mengandung sebuah makna. Konsep tentang makna menurut Pierce, yaitu: (1) konsep atau pengetahuan yang kita miliki tentang suatu objek tidak bersifat absolute.konsep hanya bersifat pemikiran (Merrel in Cobey, 2001, Hal, 28); (2) sut objek mungkin tetap tak mngkin berubah, sementara makna kata itu mungkin berubah bagi kita kalau ada perubahan pengetahuan tentang objek itu, atau perubahan perasaan kita terhadap objek itu (Ullmann, 1977; Hal.67); (3) makna tidak hanya berada pada tataran psikologis, tapi berada pula pada tataran social komunikasi yang melibatkan factor konstekstual. Dalam kajian teori tanda, makna kontekstal menganggap makna satu tanda sebagai fungsi hubungannya dengan tanda lain dalam konteksnya ( Noth, 1995;Hal. 100).berkaitan dengan makna pragmatic, konteks penggunaan suatu kata atau kalimat ditentukan oleh factor sitasional separti the role of participants, discourse, time, dan intention. Denotatif-konotatif adalah proses signifikasi yang terus menerus dalam proses semiosis yang tak berkesudahan (Eco, 1976 ; Hal. 79). Denotasi merujuk kepada makna primer suatu objek yang digambarkan sedangkan konotasi merujuk kepada kualitas yang memberikan nilai suplementer kepada objek.makna konotatif menambahkan kualitas, ekstensi makna, dan sifat baru sehingga objek tidak sekedar memilki makna apa adanya. Denotasi merpakan intense yang mementingkan kualitas internal sedangkan konotatif menentukan kualitas ekstensional satu objek sehingga ia dimaknai dan ditampilkan lebih dari batas eksistensinya. K. Keindahan dan Estetika 1. Konsep Keindahan Kata keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni, pemandangan alam, manusia, rumah, tatanan, perabot rumah tangga, suara, warna, dan sebaginya. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya. Karena itu keindahan dapat dikatakan, bahwa keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dimanapun kapan pun dan siapa saja dapat menikniati keindahan. Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tank yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah. Karena 1 itu tiruan lukisan Monalisa’tidak indah, karena dasamya tidak benar. Sudah tentu kebenaran disini bukan kebenaran ilmu, melainkan kebenaran menurut konsep seni. Dalam seni, seni berusaha memberikan makna sepenuh-penuhnya mengenai obyek yang diungkapkan. Keindahan juga bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat, selera mode, kedaerahan atau lokal. APAKAH KEINDAHAN ITU ? Sebenamya sulit bagi kita untuk menyatakan apakah keindahan itu. Keindahan itu suatu konsep abstrak yang tidak dapat dinikmati karena tidak jelas. Keindahan itu bare jelas jika telah dihubungkan dengan sesuatu yang berwujud atau suatu karya. Dengan kata lain keindahan itu barn dapat dinikmati jika dihubungkan dengan suatu bentuk. Dengan bentuk itu keindahan dapat berkomunikasi. Jadi, sulit bagi kita jika berbicara mengenai keindahan, tetapi jelas bagi kita jika berbicara mengenai sesuatu yang indah. Jadi keindahan pada dasamya adalah sejumlah kwalita, pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast). Dan ciri itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan kebaikan dari garis, wama, bentuk, nada dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat, bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan di antara benda itu dengan Si pengamat. 2. Estetika dan Estetis Dilihat dari perspektif sejarahnya, estetika merupakan cabang dari filsafat atau biasanya disebut dengan filsafat keindahan. Pada mulanya estetika disebut dengan istilah keindahan (beauty). Sementara istilah estetika baru digunakan sekitar abad ke-18. Akar kata beauty (Gie, 1996:17) berasal dari kata Latin bellum dan akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan. Bonum kemudian mempunyai bentuk pengecilan bonellum yang kemudian dipendekkan menjadi bellum, sehingga makna beuty berhubungan dengan pengertian kebaikan. Perlu diketahui pula bahwa secara etimologis beauty berhubungan dengan benefit, yang berarti bermanfaat dan berguna. Dalam bahasa Indonesia, kata indah selain memiliki makna yang sama dengan kata beauty juga bermakna peduli (akan), menaruh perhatian (terhadap). Oleh akrena itu, beberapa arti atau dari istilah keindahan mengimplikasikan adanya perhatian dari subjek terhadap objek. Makna yang dimaksud sangat dekat dengan pendaat Plato yang menyatakan bahwa langkah pertama dalam memperoleh pemahaman mengenai keindahan adalah mencintai atau memperhatikan. Dalam arti luas, keindahan yang awalnya dikembangkan oleh bangsa Yunani sebernarnya mengandung nilai kebaikan, para filsuf Yunani mengungkapan bahwa keindahan mencakupi kebaikan yang diwujudkan dalah media yang menyenangkan. Sementara keindahan dalam arti estetis murni menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Penyerapan tersebut bisa berupa visualisasi menurut penglihatan, secara audial menurut pendengaran, dan juga secara intelektual menurut keindahan. Dengan demikian, menikmati keindahan tidak hanya soal melihatnya saja, tetapi juga memahami secara cermat, menyelami makna dalam keindahan tersebut serta mengolahnya melalui kecerdasan intelektual yang dimiliki manusia sebagai penikmat keindahan. Bangsa Yunani sebagai bangsa yang memulai mengembangkan teori tentang keindahan juga mengenal keindahan dalam arti estetis atau estetika. Secara etimologis estetika berasal dari bahasa Yunani aistheta. Semantara dalam bahasa Inggris disebut dengan asthetics atau esthetics yaitu studi tentang keindahan. Orang yang menikmati keindahan disebut dengan aesthete, sementara ahli keindahan disebut dengan aesthetician (Ratna, 2007:4). Dalam sejarah kesusastraan Barat, selama berabad-abad teori estetika didominasi oleh doktrin seni sebagai media pengajaran bagi pembaca, seni meniru alam, seni meniru ciptaan Tuhan. Namun dominasi tersebut mulai ditolak pada abad ke-19, pada masa Romantik yang berpendapat bahwa estetika merupakan aspek kehidupan yang hadir secara mandiri, bukan karena tiruan dan sebagainya. 3. Sifat Keindahan a. Keindahan itu kebenaran (bukan tiruan) b. Keindahan itu abadi (tidak pernah dilupakan) c. Keindahan mempunyai daya tarik (memikat perhatian orang, menyenangkan, tidak membosankan) d. Keindahan itu universal (tidak terikat dengan selera perseorangan, waktu dan tempat) e. Keindahan itu wajar (tidak berlebihan dan tidak pula kurang atau menurut apa adanya) f. Keindahan itu kenikmatan (kesenangan yang memberikan kepuasan) g. Keindahan itu kebiasaan (dilakukan berulang-ulang. Yang tidak biasa dan tidak indah namun karena dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi biasa dan indah) 4. Keindahan dan Karya Cipta a. Kontemplasi dan Estansi Keindahan dapat dinikmati menurut selera seni dan selera biasa. Keindahan yang didasarkan pada selera seni didukung oleh faktor kontemplasi dan ekstansi. Kontemplasi adalah dasar dalam dirt manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah. Ekstansi adalah dasar dalam din manusia untuk menyatakan, merasakan dan menikmati sesuatu yang indah. Apabila kedua dasar ini dihubungkan dengan bentuk di luar diri manusia, maka akan terjadi penilaian bahwa sesuatu itu indah. Sesuatu yang indah itu memikat atau menarik perhatian orang yang melihat, mendengar. Bentuk diluar diri manusia itu berupa karya budaya yaitu karya seni lukis, seni suara, seni taii, seni sastra, seni drama dan film, atau berupa ciptaan Tuhan misalnya pemandangan alam, bunga wama-wami, dan lain-lain. APA SEBAB MANUSIA MENCIPTAKAN KEINDAHAN ? Keindahan itu pada dasamya adalah alamiah. Alam ciptaan Tuhan. lru berarii bahwa keindahan itu ciptaan Tuhan. Alamiah artinya wajar, tidak berlebihan tidak pula kurang. Kalau pelukis melukis wanita lebih cantik dari keadaan sebcnamya, justru tidak indah. Bila ada pemain drama yang berlebih-lebihan; misalnya marah dengan meluap-luap padahal masalahnya kecil, atau karena kehilangan sesuatu yang tidak berharga kemudiah menangis meraung-raung, itu berarti tidak indah. Pengungkapan keindahan dalam karya seni didasari oleh motivasi tertentu dan dengan tujuan tertentu pula. Motivasi itu dapat berupa pengalaman atau kenyataan mengenai penderitaan hidup manusia, mengenai kemerosotan moral, mengenai perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, mengenai keagungan Tuhan, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya tentu saja dilihat dari segi nilai kehidupan manusia, martabat manusia, kegunaan bagi manusia secara kodrati. Berikut ini akan dicoba menguraikan alasan/motivasi dan tujuan seniman menciptakan keindahan. b. Keindahan, Keserasian dan Kehalusan Dalam diri manusia terdapat faktor kontemplasi dari ekstasi, oleh karena itu keindahan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Semua manusia membutuhkan keindahan. Dalam keindahan tercermin unsure keserasian dan kehalusan. Keserasian adalah kemampuan menata sesuatu yang dapat dinikmati orang lain karena indah. Keserasian itu dikatakan indah karena cocok, sesuai, pantas, serta keterpaduan beberapa kualitas. Kehalusan adalah kemampuan menciptakan sikap, perilaku, perbuatan, tutur kata, ataupun cara berbusana yang menyenangkan, menarik perhatian, dan mengembirakan orang lain. Kehalusan itu dikatakan indah karena lemah lembut, rendah hati, sopan santun, baik budi bahasa, beradab, serta bermoral. c. Kreatifitas dan Karya Cipta Keindahan adalah bagian dari kehidupan manusia yang merupakan kebutuhan kodrat. Karena itu, manusia berusaha menciptakan keindahan untuk memenuhi kebutuhan akan keindahan, manusia beraktivitas menghasilkan karya cipta, karya cipta itu di dasari dan di pengaruhi oleh pengalaman hidup atau oleh kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Tujuannya dapat dilihat dari segi nilai kehidupan manusia dan manfaat bagi manusia secara kodrat dan tujuan para penulis menciptakan keindahan dan sekaligus mengungkapkan keburukan melalui karya cipta mereka : 1) Nilai dan System nilai yang sudah usang Nilai dan system nilai budaya yang terjelma dalam adat istiadat ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan, sehingga dirasakan sebagai hambatan kemajuan yang merugikan dan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, misalnya pingitan, kawin paksa, derajat wanita lebih rendah dari pada pria, perbedaan perlakuaan antara pria dan wanita, etnis yang satu lebih unggul dari pada etnis lain, dan pembatasan hak-hak suatu kelompok. 2) Kemerosotan Moral Keadaan yang merendahkan derajat dan nilai kemanusiaan ditandai oleh kemerosotan moral. Hal ini dapat diketahui dari tingkah laku dan perbuatan manusia bejat terutama dari segi kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual dipenuhi tanpa menghiraukan ketentuan hukum dan agama serta moral masyarakat. 3) Penderitaan Manusia Banyak faktor yang menyebabkan manusia menderita. Akan tetapi, yang paling menentukan adalah faktor manusia itu sendri. Manusialah yang menyebabkan manusia lain menderita karna nafsu kekuasaan, keserakahan, ketidak hati-hatian, dan sebagainya. Dimana-mana terjadi pemberontakan, perang, kecelakaan, kelaparan, dan keracunan yang menimbulkan banyak korban tak berdosa. 4) Diskriminasi atau asal usul Semua manusia diciptakan sama dan diberikan oleh penciptanya dengan hak-hak asasi yang sama pula. Akan tetapi, dalam kehidupan bernegara atau berpolitik, manusia memperoleh perlakuan yang berbada karna asal usul atau etnisnya berlainan. 5) Keagungan Tuhan Keagungan tuhan dapat dibuktikan melalui keindahan alam dan keteratuan alam semesta serta kejadian-kejadian alam. Keindahan alam merupakan keindahan mutlak ciptaan tuhan. Manusia hanya dapat meniru keindahan ciptaan tuhan, tetapi seindah-indahnya tiruan terhadap ciptaan tuhan, tidak akan seindah ciptaan tuhan itu sendri. d. Pengaruh Keindahan Pada Jiwa Manusia Pengaruh atau peran dari keindahan yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat mengakibatkan berubahnya situasi dan kondisi pada diri manusia, dampak dari keindahan dapat sangat dirasakan oleh manusia, keindahan bisa mengubah suasana yang tidak nyaman bisa menjadi nyaman, dapat menghilangkan galau, bahkan dengan seringnya kita melihat keindahan maka kesehatan jiwa kita akan sangat bagus, bahkan sugestinya baik pada tubuh dan psikologis kita. L. Membaca Sastra Dan Menilai Sastra Membaca sastra adalah salah satu pembelajaran yang ada di sekolah dasar. Salah satu cara untuk meningkatkan minat membaca pada usia anak sekolah dasar yaitu dengan cara menggunakan sebuah karya sastra seperti puisi, cerpen, dongeng, dan lain-lain. Selain karena sastra bersifat serta berfungsi menghibur dan mendidik, dalam sastra juga terdapat kata-kata, gambar-gambar, simbol-simbol serta lambang-lambang yang menarik yang tentunya juga dapat meningkatkan minat membaca pada anak. Selain itu, sastra juga berfungsi untuk mengembangkan imajinasi serta wawasan anak. Berdasarkan pemaparan diatas, tentunya kita menyadari bahwa betapa besar manfaatnya kegiatan pembelajaran membaca karya sastra di sekolah dasar. Maka dari itu, pemahaman yang benar mengenai pembelajaran membaca sastra baik itu pengertian membaca, pengertian sastra, jenis-jenis sastra, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan membaca sastra harus dikuasai benar oleh para pendidik khususnya oleh para guru. 1. Unsur yang Harus Ada Dalam Mendefinisi Pengertian Kritik Sastra. a. Kritikus adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menilai karya sastra secara objektif. Memberi penilaian terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang sering ia lakukan. Oleh karena itu, kritikus selalu menjadi tempat untuk berkonsultasi atau menjadi bumerang bagi para sastrawan. Hasil kerjanya akan menjadi masukan bagi penulis dalam mengembangkan profesinya. Pengkritik adalah orang yang melakukan penilaian baik buruknya karya sastra secara objektif. Penilaian terhadap karya sastra yang ia lakukan mungkin karena perintah atau tugas. b. Karya sastra Karya sastralah yang menjadi objek penilaian. Karya sastra yang bermutu merupakan penemuan (lain dari yang lain), merupakan ekpresi sastrawannya, pekat (kepadatan isi dan bentuk, bahasa, dan ekpresi), dan penafsiran kehidupan sebuah pembaharuan. c. Objektif Orang yang melakukan penilaian terhadap karya sastra harus bersifat objektif. Apabia dia gagal mempertahankan sifat objektifnya, maka hasil kritiknya akan berat sebelah. Ia akan memihak (menilai baik, memuji) kepada penulisnya apabila ia senang atau ada faktor lainnya, sebaliknya ia akan menilai jelek karya sastra yang dikajinya apabila ia kurang simpatikkepada penulisnya. d. Hasil Kemampuan kritikus atau pengkritik dapat diketahui setelah ia selesai mengerjakan tugasnya. Hasil merupakan bukti seorang kritikus atau pengkritik. Mereka dapat dikatakan baik terbukti dari pekerjaan yang telah mereka lakukan. 2. Ilmu Sastra a. Teori sastra (bidang teori) Penyelidikan yang berhubungan dengan, apakah sastra itu, apa hakikat sastra, dasar-dasar sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra, teori penilaian, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori sastra. b. Sejarah sastra Bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai tumbuhnya suatu kesusasteraan, sejarah jenis sastra, sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran manusia dalam sastra. c. Kritik sastra Ilmu sastra yang berusaha menyelidiki sastra dengan cara langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidak. 3. Bagaimanakah Hubungan Teori Sastra, Sejarah Sastra, dan Kritik Sastra? Menilai karya sastra diperlukan teori tentang penilaian sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhioleh suatu karya sastra supaya dapat bernilai sastradan sebaliknya sastra yang kurang bernilai sastra (ini termasuk dalam teori sastra), Teori sastra juga memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau teknik cerita, teori sastra dapat mengambil dari hasil kritik terhadap karya sastra. Untuk menyusun sejarah sastra diperlukan teori sastra, misalnya teori tentang sejarah sastra, teori tentang angkatan, misalnya bagaimana menggolongkan karya sastra ke dalam suatu periode atau menyusun periode sastra. Teori sastra juga memerlukan sejarah sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang angkatan, kita harus melihat penimbangan kesusasteraan. Sejarah sastra juga memberi sumbangannya kepada kritik sastra. Untuk mengetahui ciptaan asli atau tidak, gaya/klise atau bukan. Sebaliknya, untuk menyusun sejarah sastra diperlukan kritik sastra. Karya sastra tidak dapat dimasukkan ke dalam sejarah sastra jika tidak bernilai sastra. Untuk menentukan bernilai atau tidaknya, diperlukan kritik sastra. 4. Apakah Kegunaan Kritik Sastra a. Ilmu sastra, kritikus dapat memberikan sumbangannya yang penting. Dalam penyusunan teori sastra perlu mengambil hasil yang dicapai kritik sastra. b. Sastrawan, kritik sastra dapat berguna bagi para sastrawan. Sastrawan dapat melihat karya sastra yang bernilai baik dan kurang baik. c. Pembaca, kritik sastra sangat membantu pembaca dalam memahami karya sastra. 5. Apa Kelemahan Adanya Kritik Sastra? a. Kritik sastra yang hanya memfokuskan pada satu aspek akan mengurangi hasil kritikannya, b. Karya sastra hanya menjadi objek penyelidikan, kehilangan rasa dan artinya, c. Orang sering membaca hasil kritik sastra, akibatnya tidak membaca naskah aslinya, d. Kritik sastra menyebabkan kita memandang karya sastra dengan kacamata kritikus dan pikiran kita dikuasai oleh kritikus. 6. Tugas Pokok Kritikus Sastra (Spingarn, Dalam Shipley, 1962) a. Apakah yang hendak diekpresikan oleh sastrawan? b. Berhasilkah dia mengekpresikan hal itu? c. Apakah hal itu pantas diekpresikan? 7. Tiga Aspek Kritik Sastra a. Analisis Penilaian terhadap karya sastra dilakukan untuk memahami sastra. Analisis merupakan satu di antara sarana penafsiran atau interpretasi b. Interpretasi Penafsiran terhadap karya sastra dengan memerhatikan aspek-aspek yang membangun karya sastra. Dalam arti sempitnya, penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, terutama pada ambiguitas/bahasa kias c. Evaluasi/penilaian Proses, cara, perbuatan menilai. Kedua aspek di atas termasuk ke dalam penilaian Ketiga aktivitas kritik sastra tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengkritik karya sastra karena ketiganya saling erat hubungannya dan saling menentukan. 8. Dua Cara Menikmati dan Memahami Karya Sastra a. Barsatu dan berusaha menenggelamkan diri ke dalam karya sastra yang dianalisis. Kita harus dapat merasakan dan menikmati. b. Menikmatinya secara sadar dengan memamfaatkan kaidah atau kriteria tertentu untuk menganalisis karya sastra, sehingga kita menilai secara objektif.

Rabu, 28 Januari 2015

biasanya kalau udah kecanduan maen game.... t susah banget hilanginnya... apalagi game empire earth t deman banget gw maininnya,,,, tapi kalau bikin tugas tetap dikerjain bro.... kan biasanya kalau udah keasyikan main game pasti lupa t kerjaan,,,misalnya tugas proposal,,,, nah tapi jangan cemas bro...gw ada cara buat ngatasin ne, baca bro:

  • lo pikir aja terus tugas lo, anggap itu besok dikumpulinnya, padahal t tugas g besok kumpulinnya
  • trus loselalu otak atik t bahan kuliah lo anggap lo terlihat rajin
  • lo pasang alarm di handphone biar g lupa bro, kalau dapat dimasukin dalam kantong celana biar tau bunyi alaram, kan kalau di tarok ditempat lain kan percuma,, lo ke asikan main eeh t alarm g kedengar

nah sekian aja y bro moga membantu buat para gemers...........